Berdamai dengan tantrum

Buat ukuran orang tua baru, mungkin saya termasuk ibu yang malas belajar soal tumbuh kembang anak dari internet. Sebagian besar ilmu parenting yang saya terapkan adalah berdasarkan naluri dan diskusi bareng suami. Kalo perlu referensi dari luar, paling mentok bertanya kepada orang tua.

Beberapa hari belakangan, setelah memutuskan berhenti bekerja dan menjadi ibu penuh waktu, hari-hari dengan Maika terasa lebih menantang. Minggu pertama dan kedua semuanya tampak indah. Ibu senang, Maika tambah nempel kemana-mana maunya sama Ibu. Ke kamar mandipun diikuti dan ditunggu di depan pintu, bahkan meminta ikut masuk.

Jika keinginannya tidak dituruti, dia akan berteriak dan mulai menangis. Awalnya pelan, tapi tidak mau berhenti berteriak bahkan semakin kencang. Ketika keinginannya sudah dipenuhi, dia masih tetap berteriak dan menangis. Sekali dua kali kejadian, masih saya abaikan. Pertama hanya di siang hari ketika beraktivitas kemudian menjadi sepanjang hari dan sulit sekali diminta tidur. Tidur malam selalu di atas jam 1 pagi. Setelah tidurpun masih tiba-tiba teriak dan menangis tanpa sebab.

Tentu saja saya dan suami panik. Karena sebelumnya Maika bukan tipe anak yang rewel, kecuali ketika sedang sakit. Hal pertama yang kami lakukan adalah mengecek apakah dia ngompol, kembung, digigit sesuatu, atau panas. Setelah memastikan bukan itu penyebabnya, kami mencoba bertanya kenapa menangis dan apa yang dirasakan. Bukannya menjawab malah tangisnya semakin kencang.

Memasuki masa tantrum

Setelah melewati malam demi malam kurang tidur, saya dan suami membahas apa yang sebenarnya dialami oleh anak kami. Berdasarkan informasi yang pernah kami dengar sebelumnya, mungkin ini yang dinamakan fase tantrum. Sebuah kondisi yang umum terjadi pada anak sebagai bagian dari tahapan tumbuh kembangnya dalam mengenali emosi. Ada sebuah kelegaan bahwa ini adalah hal normal, tapi juga muncul pertanyaan bagaimana cara mengatasinya.

Dugaan saya, salah satu pemicu munculnya gejala tantrum ini adalah luapan kesenangannya yang tidak terbendung. Selama dua minggu lebih kemaren, siang dan malam selama 24 jam bermain dan nempel dengan saya. Kami melupakan bahwa sebelumnya, pada hari kerja dia hanya punya waktu bermain dengan saya pagi hari sebelum berangkat kerja dan sepulang kerja di atas jam 8 malam.

Rupanya kesenangan yang dirasakan setelah 2 minggu nonstop bersama saya membuat dia kewalahan. Muncul keinginan untuk terus bermain bersama saya dan menolak bermain dengan yang lain. Sampai menolak untuk tidur dan perasaan tidak tenang ketika tidur. Mungkin dia pun bingung, tapi tidak mampu mengungkapkannya. Mungkin juga itu yang bikin dia tambah kesal setiap kali kami bertanya malah tangisnya kembali pecah.

Jujur melalui masa tantrum anak adalah hari-hari yang melelahkan. Bukan cuma secara fisik tapi emosi saya pun ikut terkuras. Tidak jarang saya terbawa emosi dan berakhir dengan mengeluarkan nada tinggi, meniggalkannya begitu saja lalu masuk ke kamar dan menangis. Saya merasa tidak diberikan banyak pilihan selain meledak di depannya atau meledakkan emosi di kamar menjauh dari pandangannya. Yang jelas, kedua pilihan tersebut tidak ada yang membuat saya nyaman.

Bagaimana saya harus berdamai dengan kondisi ini? Bisa-bisa jika saya tidak segera mengatasi emosi sendiri malah anak yang jadi korban. Dari situlah ide melakukan Yoga muncul di kepala saya. Bagaimanapun yang pertama harus saya lakukan adalah menenangkan diri dan berkomunikasi dengan tubuh dan pikiran saya.

Lalu mungkin pertanyaan yang muncul berikutnya adalah bagaimana cara saya mengatasi anak tantrum? Saya bukanlah ahli atau orang yang kompeten memberikan saran soal mengatasi anak tantrum. Saya pun masih berusaha menemukan jawabannya. Namun satu hal yang persis saya tahu adalah bahwa anak saya butuh saya untuk membantunya melewati masa ini. Dan kondisi ini tidak akan kemana-mana atau mungkin akan memburuk jika emosi saya tidak stabil.

Saya mencoba menerapkan pendekatan-pendekatan di bawah ini jika tantrumnya muncul;

Pertama, saya akan memberinya waktu untuk meluapkan emosinya (biasanya dimulai dengan teriak-teriak, menangis, lalu menggeliatkan tubuhnya seperti menendang atau meronta berusaha melepaskan dari gendongan)

Kedua, jika sudah mulai mereda saya coba mengalihkan perhatiannya dengan mengajak ngobrol dengan topik yang membuatnya tertarik. Misalnya cerita tentang burung merpati, cerita teman-temannya di komplek, atau mainan kesukaannya.

Ketiga, jika fokusnya mulai teralihkan bisa dicoba untuk melakukan aktivitas bersama. Misalnya bermain lego, menggambar, main sekolah-sekolahan, atau masak bersama.

Keempat, libatkan orang lain. Supaya dia paham bahwa di rumah ini bukan cuma ada saya dan dia. Membuka interaksi dengan orang lain yang juga sayang dan peduli dengannya.

Kelima, ajak ngobrol bantu dia mengenali emosinya. Belajar dari pengalaman kemaren, akhirnya saya cari waktu yang pas untuk bertanya. Biasanya pas moodnya lagi bagus baru saya buka obrolan. “Maika.. ibu mau bertanya boleh? yang waktu kemaren itu pas malam-malam nangis, Maika lagi sedih yah apa lagi capek?”

Memang dia tidak akan menjawab secara jelas, tapi paling tidak kita memberi dia gambaran untuk mengenali apa yang dirasakannya. Dengan melakukan pendekatan di atas, hasilnya jauh membaik. Bukan cuma untuk dia tapi juga untuk saya. Saya percaya jika terus dilakukan, perlahan dia akan mampu mengenali emosinya. Tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

Leave a Reply