Tepat sebelas bulan lalu, untuk pertama kalinya saya merasakan sebuah kebahagiaan yang hampir tidak bisa saya bendung. Hangatnya perasaan senang penuh syukur bisa saya rasakan menjalar di sekujur tubuh sambil memeluk haru bayi yang baru saya lahirkan. Saya yakin pada saat ini tubuh saya bergetar saking terharu dan senangnya, antara percaya dan tidak percaya. Priceless moment yang akan selalu menggetarkan untuk diingat.
Tidak terasa bulan depan genap sudah satu tahun saya menjadi seorang Ibu. Saya tidak akan bercerita panjang lebar soal suka dan duka seorang ibu dalam tulisan kali ini. Melainkan saya akan bercerita soal kekhawatiran terbesar yang saya rasakan setelah menjadi orang tua.
Terlepas dari rasa syukur dan kebahagiaan sejak kehadiran anak kami, entah kenapa muncul pula perasaan takut yang sering terlintas dalam pikiran saya.
Bagaimana jika hal buruk menimpa saya atau suami hari ini? *amit-amit ketok meja*
Apa yang akan terjadi dengan anak kami? Bagaimana nasibnya, pendidikannya kelak, dst? Membayangkannya saja sudah bikin lemas dan kalut?
Saya dan suami memang sama-sama bekerja fulltime ngantor. Rutinitas kami yang bekerja kantoran memang mengharuskan untuk mobile setiap hari. Minimal berangkat ke kantor dan pulang ke rumah, belum lagi jika harus meeting keluar kantor. Dengan kondisi arus lalu lintas di Jakarta, saya rasa kami harus siap dengan kemungkinan apapun yang bisa terjadi di jalan termasuk kemungkinan yang terburuk.
Suatu hari di penghujung tahun kemarin, saya membuka percakapan soal ketakutan tersebut dengan suami. Rupanya suami pun menangkap kekhawatiran saya. Ia pun memiliki pandangan yang sama. Itulah salah satu alasan kenapa kami berbenah masalah keuangan seperti yang saya ceritakan dalam postingan sebelumnya soal merencanakan tujuan keuangan keluarga.
Sebagai orang tua, tentunya kita akan melakukan apapun sebisa kita untuk kebahagiaan dan kebaikan anak kita bukan? Ada yang bilang bahwa ungkapan cinta terbesar adalah rasa tanggung jawab. Tak terkecuali dengan saya dan suami. Kami ingin menjadi orang tua yang bertanggung jawab, sehingga kami merasa perlu menyiapkan masa depan anak kami dimulai sedini mungkin dari hal yang kami bisa.
Mungkin tidak semuanya bisa kami lakukan untuk menyiapkan masa depan anak kami sekarang. Well, sudah kodratnya bahwa manusia tidak pernah merasa berada pada kondisi ideal (termasuk berat badan #lah :D). Sehingga kata kuncinya adalah dimulai dari apa yang kami mampu.
Setelah beberapa kali berdiskusi dengan suami, akhirnya di awal tahun ini kami mantap memilih fokus menyiapkan proteksi jiwa, tabungan dana darurat, dan tabungan pendidikan anak (jangka pendek) sebagai langkah awal dari menyiapkan masa depan anak kami.
Proteksi jiwa (saya dan suami)
Kebetulan memang saya dan suami sama-sama bekerja, sehingga kami dianjurkan untuk memiliki proteksi jiwa masing-masing. Lain halnya jika hanya suami yang bekerja menanggung nafkah keluarga, maka istri tidak wajib memiliki asuransi jiwa. Proteksi jiwa ini sifatnya preventif, jadi manfaatnya tidak terlihat secara langsung.
Bahkan berdoa saja supaya manfaatnya tidak akan dirasakan. Anggap saja seperti menggaji satpam di rumah, demi ketenangan jiwa dan bathin. Namun jika hal buruk terjadi terhadap salah satu dari kami, harapannya manfaat uang pertanggungan yang didapat bisa menjadi bekal untuk melanjutkan kehidupan dan masa depannya.
Tabungan pendidikan anak
Setiap orang tua pasti ingin memberikan kualitas pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Meskipun itu artinya kualitas yang bagus sama dengan harga yang tidak murah. Apalagi biaya sekolah di Jakarta, baru browsing di internet saja sudah bikin menghela nafas. Oleh sebab itu kami memilih menyiapkan biaya pendidikannya sedini mungkin. Anggap saja dicicil dari sekarang, supaya ketika tiba waktunya sekolah dananya sudah siap.
Idealnya memang memiliki alokasi tabungan sesuai dengan jenjang pendidikan yang akan ditempuh, misalnya playgroup, TK kecil, TK besar, SD, SMP, SMA, dan Kuliah. Tapi berhubung setelah dihitung angkanya jadi bombastis apalagi setelah dikalikan dengan asumsi inflasi per tahunnya, maka kami pun menyerah. Haha.. Akhirnya kami mulai dari jenjang pendidikan yang paling dekat dulu saja, yaitu playgroup.
Tabungan dana darurat
Jika sudah berkeluarga, maka memiliki tabungan dana darurat ini menjadi penting. Perhitungan tabungan dana darurat sebelum punya anak dan setelah punya anak berbeda hitungannya. Idealnya suami istri dengan 1 orang anak memiliki simpanan dana darurat minimal sebanyak 6 kali pengeluaran bulanan.
Tabungan dana darurat sebaiknya disimpan pada produk keuangan dengan resiko seminim mungkin dan secepat mungkin bisa diambil jika diperlukan. Dana darurat ini menjadi penting untuk “emergency case”, bukan hanya untuk anak tapi seluruh anggota keluarga termasuk kita dan orang tua kita.
Karena totalnya lumayan besar, maka alokasi dana perlu dicicil juga. Misal ingin mencapai dana darurat senilai X dalam waktu satu tahun, maka setiap bulannya kita harus menyisihkan sekian X agak terkumpul selama setahun.
Kira-kira demikian yang bisa kami upayakan untuk menyiapkan masa depan anak kami. Mungkin masih jauh dari ideal apalagi sempurna, tapi kami janji akan terus belajar dan berusaha memberikan yang terbaik sebisa kami.
Ternyata tulisan kali ini panjang juga yah? semoga buat yang membaca tidak bosan dan mendapatkan faedah 😀
Apakah peelu menyiapkan dana pendidikan anak sedini mungkin sebelum menikah?
Pingback: Menghitung dana pendidikan anak – Kristin Amelina