Baru-baru ini, anak pertama saya yang berusia 7 tahun menerbitkan buku pertamanya berjudul The Butterfly Witch. Sebuah buku tentang perjalanan emosi yang disampaikan lewat sudut pandang anak 7 tahun. Buku yang terinspirasi dari pengalaman pribadi dalam mengenali, memahami, dan menerima berbagai luapan emosinya.
Beberapa teman dan kenalan yang terkesan setelah membaca ceritanya, yang juga merupakan para orang tua, mengirim pesan langsung kepada saya untuk memesan bukunya sambil menitipkan pertanyaan yang kurang lebih sama kepada saya “Bagaimana cara mengajarkan emosi kepada anak kecil?”
Saya paham betul maksud dari pertanyaannya. Ada masanya saya pun merasa kewalahan dan kebingungan menghadapi berbagai emosi anak-anak yang intens. Karena jujur saja terkadang saya sebagai orang dewasa pun sering tidak menyadari emosi apa yang saya rasakan. Saya cenderung mengabaikan dan membiarkannya berlalu tanpa benar-benar paham emosi apa dan pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh emosi tersebut.
Saya menyadari bahwa belajar mengenali, memaham, dan menerima emosi adalah lifeskill penting sebagai bekal anak-anak agar kelak mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat secara mental dan emosi. Alih-alih mengajarkan anak tentang emosi, saya memilih belajar bersama mereka.

Perlu waktu semalaman buat saya untuk kilas balik tentang bagaimana awal mula mengenalkan emosi kepada anak-anak. Setelah mencerna dan merunutkannya, kira-kira berikut adalah hal-hal yang saya dan suami lakukan kepada anak-anak dalam membersamainya mengenal emosi:
1. Membiasakan ngobrol sejak bayi bahkan sejak masih dalam kandungan.
Meski bayi belum bisa bicara, kami selalu memperlakukan anak-anak seperti layaknya anggota keluarga yang diajak berkomunikasi setiap hari. Kami meyakini hal ini sebagai salah satu bentuk mencintainya dengan terhormat.
2. Mengenalkan emosi yang sedang dirasakan (mulai dari usia 1 tahun ke atas).
Misal ketika dia merengek dan menangis meminta susu pada saat jam makan siang. Saya akan memberi tahu, “Kamu sedih yah karena gak boleh minum susu? Ibu paham kamu nangis karena sedih, tapi sekarang waktunya makan siang, kita makan lengkap dulu yah.. nanti jam 2 sebelum tidur siang kamu boleh minum susu”.
3. Mengeksplor emosi yang mungkin dirasakan.
Ketika sudah sedikit lebih besar dan mulai bisa berkomunikasi dua arah (usia 2 tahun ke atas), kami membiasakan bertanya suasana hatinya minimal sehari sekali pada malam hari sebelum tidur. Setelah membacakan cerita sebelum tidur, saya akan membuka diskusi “Bagaimana perasaanmu hari ini? Senang tidak tadi jalan-jalan di mall?” Kemudian kalau ada kejadian menarik atau kurang mengenakan bisa lanjut bertanya. “Tadi pas main perosotan Ibu lihat ada yang main dari bawah seluncuran yah? Kamu takut gak? Atau kesal karena ada anak yang tidak ikut antri di tangga?”
4. Memperkaya informasi tentang emosi.
Ketika sudah mulai mengenali emosinya, saya mencoba memaparkan emosi yang mungkin sedang dirasakan oleh orang lain. Bisa dari buku atau saling bertukar cerita dengan anggota keluarga di rumah. Sesekali saya bercerita tentang emosi dan perasaan yang saya rasakan terutama jika dia terlibat dalam peristiwanya. Misal sewaktu saya mengajaknya bertemu dengan teman kerja dulu. “Kamu ingat gak, dulu waktu kamu ikut ke kantor Ibu, kamu suka main sama Tante Diah loh.. Ibu senang sekali bisa ketemu lagi sama tante Diah setelah sekian tahun gak ketemu. Ibu jadi bisa nostalgia.” Bisa juga mengajaknya berdiskusi tentang buku yang dibaca bersama.
5. Mengenalkan jurnaling sebagai latihan untuk mengenali dan menyampaikan emosinya.
Ketika sudah bisa menulis saya mulai mengajaknya menuliskan emosinya. Saya mulai dengan mengajaknya ngobrol seperti pada point 3 atau sekedar memintanya untuk menuliskan kegiatan yang berkesan di hari ini. Jangan berekspektasi anak akan langsung paham dalam sekali dua kali percobaan. Prinsipnya adalah semakin sering latihan semakin baik. Ikuti phase anak dan kita juga terlibat dalam prosesnya.
6. Fokus pada emosi yang paling intens atau berat.
Awalnya memang bukan menulis tentang emosinya melainkan peristiwa yang dihadapi atau dianggapnya berkesan atau berat. Biasanya saya akan tanya, dari semua peristiwa yang terjadi hari ini adakah yang paling ingin kamu ceritakan atau tulis? Misalnya seperti jurnal yang ditulis tanggal 2 Juli ini, dia memilih untuk menulis pengalaman emosinya pada kejadian yang melibatkan saya.

7. Validasi semua emosinya dan apresiasi setiap progresnya.
Progres kecil tetaplah sebuah kemajuan, saya selalu berusaha untuk memvalidasi emosi dan mengucapkan terima kasih atas usahanya. Misal ketika membaca jurnal di atas saya langsung memeluknya “Terima kasih ya Kak, sudah mau belajar bersama untuk memahami dan menerima emosi. Ibu paham kamu pasti sedih atau kesal masih diingetin soal sisiran. Padahal sebenarnya tanpa diingetin kamu akan sisiran sendiri. Ibu juga berterima kasih karena meski sedang kesal, kamu masih memikirkan perasaan ibu. Ibu bangga sekali jadi ibumu”
Belajar emosi memang tidak mudah. Perlu ketelatenan dan mindset pembelajaran seumur hidup. Satu hal yang saya percaya bahwa semua emosi yang hadir sebenarnya membawa pesan untuk diri kita. Hal yang bisa kita lakukan adalah menerimanya dan berusah mencari tahu pesan dari emosi tersebut. Bukan hanya anak saya yang belajar, akhirnya saya pun memiliki alasan kuat untuk belajar lagi dan menggali emosi yang saya rasakan. Saya merasa sangat beruntung bisa bertumbuh dan membersamai anak-anak dalam belajar memahami emosi.

Harga khusus PO buku The Butterfly Witch hanya Rp 119.000 berlaku sampai tanggal 6 September 2024, dari harga normal Rp 159.000.